Kamis, 26 November 2015

Contoh Cerpen Bahasa Indonesia : Midi

Midi
Lana Karyatna

            Terusik ingatanku saat masih di dunia sekolah, temanku sering memanggil namaku dengan sebutan Midi, padahal namaku Lukman. Saat itu aku hidup di gubuk kecil yang sudah tak mampu lagi menahan kami, panas ya kepanasan, hujan juga kehujanan, memang berat rasanya menghuni rumah yang mumpuni, tapi semua ini sudah aku anggap sebagai istanaku sendiri.

            Musibah pun datang kepada kami. Hujan deras disertai angin kencang merobohkan sebagian istana kami. Aku dan keluargaku hanya bisa terdiam. Malam pun tiba, dinginnya angin malam yang melewati celah bilik yang rusak, dan suara nyamuk yang mengiang-ngiang menghiasi tidur kami.

            Hari pun telah berganti, hari pertama aku sekolah, dengan seragam, sepatu, dan buku bekas. Walaupun semuanya bekas, aku tidak malu karena aku benar-benar ingin sekolah. Sesampainya di sekolah, ternyata ada temanku yang sekampung denganku, dia bernama Joni, seorang anak juragan tanah, dia anak paling disegani di kampungku, dialah orang pertama dengan sebutan midi.

“Hey teman-teman, lihat si midi sekolah” seru Joni. “Midi? Nama macam apa itu?” tanya teman-temannya. Joni pun menjawab “Midi itu Miskin Idiot” teman-temannya pun tertawa terbahak-bahak. Tapi aku hanya bisa diam karena derajat mereka bagaikan langit dan bumi.

            Saat tiba di kelas, aku memilih tempat duduk, sambil menunggu jam belajar dimulai, ada orang yang menghampiriku dan duduk di sebelahku, dia berkenalan denganku dan dia bernama Ahmad, aku senang bisa kenal dengannya. Jam belajar pun dimulai, satu persatu murid memperkenalkan dirinya di depan kelas, saat tiba bagianku, aku diejek Joni. “Wah ada si Midi” temannya juga ikut mengejek, aku merasa ingin memukulnya tapi aku bersabar. Selepas itu guru memulai pelajaran matematika, aku tidak mengerti apa yang ia sampaikan dan aku ditunjuk untuk mengerjakan soal di depan dan aku tidak bisa apa-apa. Sebutan Midi semakin melekat pada diriku semenjak aku tidak bisa mengerjakan soal, kejadian itu pun terus terulang sampai aku lulus dari sekolah.
                        
Sesudah  lulus aku bingung harus meneruskan ke perguruan tinggi , di samping itu aku tak punya biaya untuk meneruskan kuliah ,aku juga harus memikirkan bagaimana cara aku bisa menjadi tulang punggung keluarga semenjak sepeninggal ayahku dua tahun yang lalu karena serangan jantung. Dengan keadaan ini aku semakin putus asa dan selalu berpikir bahwa tuhan tak adil padaku. Aku pernah bekerja dari profesi tukang becak,tukang kebun sampai menjadi seorang pemulung pun aku pernah melakoninya sampai-sampai kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala, itu semua aku lakukan demi keluargaku. Tapi begitu berat rasanya ketika aku di usir dari rumah. “Lukman, kamu itu hanya memberatkan keluarga saja, pergi sana dasar anak idiot!” bentak ibuku.

Aku pergi meninggalkan rumah dan tidak tahu harus tinggal di mana . Saat di jalan aku menolong  seoseorang yang mengenakan jas putih yang ia kenakan, aku berpikir bahwa ia seorang dokter, ia hampir tertabrak truk pengangkut pasir. “ Pak tidak apa- apa? “ tanyaku, dokter menjawab “ tidak apa-apa nak, sebelumnya terima kasih . Oh nama ade siapa? “  aku menjawab “ namaku Lukman pak “. Kenapa ade membawa koper dan tas ?” dokter bertanya kembali “ aku di usir oleh ibuku” jawabku dengan wajah sedih.

Semenjak kejadian itu, tiba-tiba ia mengajakku ke rumahnya dan disuruh menetap, beberapa bulan kemudian aku ditanya “nak, apa kau ingin kuliah?”, aku pun menjawab “Saya tidak punya uang Pak”, “Tak apa nak, akan saya tanggung semua biaya kuliahmu”. Aku pun senang bukan kepalang, aku tidak akan menyianyiakan kesempatan ini. Disamping itu aku juga diajari bagaimana menjadi dokter.

Hari itu aku mulai daftar sebagai mahasiswa, ternyata banyak juga yang mendaftar, disamping itu aku mendapat banyak teman baru dari berbagai daerah. Aku memulai tes dengan sungguh-sungguh, aku menunggu hasil tes, jantungku berdebar sangat kencang saat pengumuman hasil tes akan ditampilkan. Ternyata, aku belum berhasil, aku gagal dalam tes dan aku harus mengulangnya, aku sedih dan takut jika dokter itu marah padaku. Lalu dokter itu datang dan menanyakan hasil tes “Nak bagaimana tesnya?” Tanya dokter, “A…a…a…aku gagal” jawabku dengan perasaan takut, “tak apa nak, kamu bisa mencobanya lagi” jawab dokter. Aku heran mengapa dokter itu sangat baik kepadaku, padahal dia sudah susah payah, meluangkan waktu istirahatnya untuk mengajariku, aku merasa sangat bersalah, aku akan mencobanya lagi suatu hari nanti.

            Hari demi hari telah aku lalui, siang dan malamku hanya ditemani belajar, sampai tiba saatnya aku mulai lagi tes. Aku kembali daftar ke kampus itu yang dulu, dengan persiapan yang matang aku berharap bisa diterima di kampus itu. Setelah sekian lama menunggu aku pun ikut tes juga, aku tidak menyangka, soal sekarang tidak sesulit soal yang dulu, atau mungkin aku telah belajar? Aku tidak memikirkan dan aku yakin pasti diterima. 

Lelah rasanya tes tadi, saat pulang aku terkejut, siapa perempuan cantik yang ada di rumah dokter itu. “Maaf Pak itu siapa ya? Kok dia makan, minum dan duduk seenaknya?” tanyaku dengan wajah bingung, “Oh, itu anak saya baru pulang kuliah dari Inggris” jawab dokter. Aku terkejut, ternyata keluarga Bapak ini orang yang sukses, anaknya bisa kuliah ke luar negeri, andai aku bisa seperti itu, tapi aku hanyalah seorang anak bodoh yang menyusahkan orang lain.

Beberapa hari kemudian aku pergi ke kampus untuk melihat hasil tes, aku sangat terkejut, namaku ada di urutan ke 10 nilai tertinggi di fakultas kedokteran, aku berteriak kegirangan dan langsung memberitahu dokter, dia pun turut senang karena usaha yang ia lakukan tidak sia-sia.

Aku duduk di ruang tamu dan tiba-tiba ada perempuan itu, dia menghampiriku “hey, siapa kamu? Tanyanya. “Aku lukman” jawabku, “Di sini dari kapan?” tanyanya lagi, “sudah hampir 1 tahun, namamu siapa?” , “Aku Putri, mengapa kamu di sini?” tanyanya “aku diusir ibuku, lalu ayahmu mengajakku untuk tinggal bersamanya”. Tiba-tiba dia duduk disampingku dengan tatapan yang menggoda, tiba-tiba dia bersandar di pundakku, aku begitu terkejut dan hatiku begitu berdebar, belum ada perempuan cantik bersandar padaku seperti itu, aku pun membalasnya dengan meletakkan tanganku diatas pundaknya, dan dia pun seperti merasa nyaman. Semenjak kejadian itu, aku semakin dekat dengannya.

            Hari pertama aku kuliah, dia mengantarku sampai ke gerbang kampus, wajahnya terlihat senang dan aku pun pamit padanya dan dia pun pergi, ternyata kuliah sangat berbeda dengan SMA, aku harus mengerjakan tugas yang sangat berat dan waktuku untuk istirahat pun ikut terganggu, tetapi tidak mengganggu waktuku bersama Putri, sepertinya aku mulai suka kepadanya, sampai suatu ketika, aku memberanikan diri untuk menembaknya, “Put, kita kan sudah lama kenal, sudah dekat pula, bagaimana kalau A....a....a....aku...aku...aku jadi pacarmu” tanyaku dengan perasaan gugup, wajah Putri memerah seketika dan langsung terdiam, dan aku tanya lagi “Gak mau yah? Yasudah.” Tanyaku dengan perasaan kecewa, “gak mau? Kata siapa?” Jawabnya sambil becanda “Oh jadi kamu mau? Tanyaku dengan girang “Iya mau” jawabnya dengan malu-malu.

            Setelah lulus kuliah, aku pun berencana untuk melamar Putri. Aku sangat gugup ketika hendak meminta restu kepada ayahnya. “Pak, bolehkah saya melamar putrimu?” tanyaku dengan gugup, “Biarkan anakku yang menjawab” Jawab pak dokter, “Baiklah aku akan berbicara dengannya”.

            Aku langsung pergi meninggalkan pak dokter untuk menemui Putri dan aku berhasil menemuinya, “Putri, aku telah berbicara dengan ayahmu tentang rencana pernikahan kita, semua terserah padamu” Putri menjawab “Oh begitu, kenapa baru bilang padaku sekarang ? Padahal aku sudah menunggumu”. “Karena dulu aku masih belum siap” jawabku, “Bagaimana dengan orang tuamu?” tanya Putri, “Aku tidak tahu soal itu, dulu aku pernah pergi ke rumah ibuku tapi rumahnya sudah roboh, aku bingung mencari mereka ke mana lagi” jawabku dengan wajah yang murung, “yasudah, jangan hiraukan itu, setelah kita menikah kita cari ke manapun sampai ketemu”. “Benarkah? Yasudah” Aku sangat kegirangan.

            4 bulan dari lamaran itu, Aku dan Putri pun menikah, dengan makanan, hiburan, dan tamu yang banyak membuat pesta pernikahan kami semakin meriah. Setelah beberapa bulan kemudian aku membeli rumah baru dan bekerja sebagai dokter di rumah sakit milik mertuaku, rasa senang campur canggung karena bekerja di tempat mertuaku sendiri, dibayar mertua, gaji dimakan untuk anaknya juga.

            Suatu hari saat aku bekerja, ada seorang nenek tua bersama anak kecil datang ke tempatku, “Bu, tolong periksa saya” kata nenek tua itu, “Iya nek, silakan nenek duduk di ruang tunggu, sekarang tulis nama nenek, nanti saya akan panggil jika sudah gilirannya” jawab suster. Nenek itu menunggu dengan penuh rasa kesakitan, kelelahan, dengan mata yang terkantuk-kantuk, ada sekitar 30 menit nenek itu menunggu, akhirnya mendapat giliran juga, dengan mata yang baru terbuka setelah tertidur, nenek itu pun dihiasi wajah yang gembira.

            Nenek itu datang ke ruanganku dan memeriksakan diri dan menyerahkan kartu pendaftarannya, aku melihat sesuatu yang mengejutkan, aku seperti mengenali nama itu, dan ternyata benar, dia adalah ibuku, aku sangat kaget dan bahagia, aku pikir dia sudah meninggal, sudah lama aku tidak bertemu dengan ibuku sendiri. Aku memeriksanya dengan hati-hati dan apa yang terjadi, dia mengidap penyakit yang parah dan ia harus dioperasi. “Mari nek ikut saya ke ruang operasi” kata suster, “Tapi kan saya tidak punya uang” kata nenek, “Sudahlah, jangan pikirkan itu” kata suster. Nenek itu pun pergi ke ruang operasi.

            Beberapa jam kemudian operasi pun selesai, “Alhamdulillah, operasinya lancar” kata suster, “Alhamdulillah, tapi sus, kenapa saya tidak diminta uang untuk membayar operasi?” tanya nenek dengan wajah kebingungan, “Ada seseorang yang membayar biaya operasi dan pengobatan ibu, apakah ibu ingin bertemu dengan orangnya? Tanya suster, “Oh baiklah silakan” kata nenek itu dengan raut wajah yang senang. Tak selang waktu yang lama, orang itu pun datang menghampiri nenek itu, dan ternyata orang itu adalah aku, “Nek, bagaimana operasinya?” tanyaku, “Alhamdulillah lancar, oh iya bapak siapa ya?” tanya nenek itu, “Saya lukman nek”, “oh Pak Lukman, Anda memiliki hati yang mulia, seharusnya Bapak tak usah repot-repot membayar biaya operasi saya, biarkan saya merasakan kesakitan” kata nenek itu sambil tersenyum, “Tak apa nek, aku membayar biaya nenek dengan ikhlas, aku ibaratkan ini sebagai pembalasan apa yang nenek lakukan padaku saat itu” jawabku, “Siapa kau sebenarnya?” Tanya nenek dengan wajah yang kebingungan, “Aku Lukman, anakmu” Jawabku. Ekpresi wajahnya berubah, dia sangat senang dan terharu bisa bertemu dengan anaknya yang sudah sukses, dia pun meminta maaf karena dulu telah mengusirku.

            Kini aku hidup bersama keluargaku, dengan ibu dan adikku sebagai anggota  baru di keluargaku, aku sangat senang bisa menemani hari tuanya sampai akhir hayat.